Monday 9 January 2017

Makala PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Organisasi pendidikan merupakan organisasi yang unik. Karena keunikannya, lembaga pendidikan tidak dapat disejajarkan dengan lembaga-lembaga atau organisasi lainnya. Keunikannya terletak dari misinya sebagai lembaga pencetak manusia-manusia yang memiliki kepribadian, kecerdasan, dan keterampilan tertentu agar dapat hidup sebagai manusia yang produktif dan beradab. Karena keunikannya itu pulalah, lembaga pendidikan harus diselenggarakan dan dikelola oleh lembaga dan orang-orang yang berkompeten.

Penyelenggara pendidikan, baik pemerintah, pemerintah daerah maupun komunitas masyarakat (yayasan) harus memiliki kemampuan yang handal dalam hal penyusunan dan pengembangan kurikulum, penyediaan sarana dan prasarana, pengadaan tenaga pendidikan dan tenaga kependidikan, kemampuan pendanaan dan berbagai hal yang menjadi standar nasional pendidikan. Hal ini penting, sehingga penyelenggaraan pendidikan tidak mengabaikan kualitas.

Selain penyelenggara, unsur pengelola pendidikan (manajemen sekolah) memiliki peran yang tidak kalah penting. Ia berada pada garis depan (front office line) yang bertanggungjawab menyelenggarakan proses pembelajaran. Di bawah kewenangannya, proses pembelajaran dan bagaimana kualitas dari proses tersebut terjadi. Disinilah sejatinya proses tranfer nilai (transfer of values) melalui proses imitasi, pewarisan budaya, hingga proses pembentukan pengetahuan dan keterampilan terjadi dengan memadai ataukah tidak memadai. Oleh karenanya, pemahaman pengelola pendidikan terhadap tujuan dan fungsi pendidikan akan sangat menentukan kualitas lembaga pendidikan yang dikelolanya.

Era desentralisasi dan otonomi daerah telah membawa implikasi besar terhadap penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan. Kewenangan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah (kecuali madrasah) berdasarkan PP No. 38 tahun 2007 didelegasikan kewenangan penyelenggaraannya kepada pemerintah daerah kabupaten/kota. Hanya Sekolah Luar Biasa (SLB) dan sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang berada pada perbatasan kabupaten/kota berada dalam kewenangan pemerintah provinsi. Sementara itu, pemerintah pusat berperan dalam menetapkan standar penyelenggaraan pendidikan, yang meliputi : standar kompetensi lulusan (SKL), standar isi, standar penilaian, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar pembiayaan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, serta standar proses  di jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Penyelenggara pendidikan  dasar dan menengah (Dikdasmen) di Kabupaten/kota dilaksanakan oleh dinas pendidikan, meski pada kenyataannya, dinas pengelola pendidikan ini diberi pula tanggung jawab mengelola urusan lain, seperti urusan pemuda, olah raga, kebudayaan, bahkan pariwisata. Oleh karenanya, dalam penyelenggaran pendidikan di tingkat messo, dibutuhkan pula birokrasi penyelenggara pendidikan yang kompeten. Penempatan personil, mulai dari pimpinan hingga pelaksana dan pengelola pendidikan di satuan-satuan pendidikan, harus benar-benar memperhatikan aspek kompetensi. Prinsip merit system dan the right man on the right place perlu secara konsisten diimplementasikan.

Pimpinan dinas yang menyelenggarakan  pendidikan di kabupaten/kota dan pimpinan satuan pendidikan harus memiliki jiwa kepemimpinan (leadership). Tead, Terry, Hoyt (dalam Kartono, 2003) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan kelompok. Itu berarti bahwa dalam diri seorang pemimpin harus memiliki kelebihan dibandingkan pengikutnya, kelebihan yang utama adalah kemampuannya untuk mengarahkan  agar pengikutnya tetap melaksanakan kegiatan sesuai dengan tujuan-tujuan organisasi.

Dari sudut pandang penyelenggaraan pendidikan dewasa ini, kepemimpinan menjadi sangat penting dan cenderung menyisakan permasalahan, terutama bila dipandang dari 2 (dua) hal, pertama adanya kenyataan bahwa penggantian pemimpin (suksesi kepemimipinan) seringkali mengubah kinerja suatu unit, instansi atau organisasi; kedua, hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan menjadi salah satu faktor internal yang mempengaruhi keberhasilan organisasi, namun pada kenyataannya dipandang tidak penting. Sehingga yang terjadi adalah organisasi memiliki pemimpin/kepala namun gagal dalam menghadirkan leadership (Yukl, 1989). Hasil penelitian tersebut membuktikan adanya jargon “ganti pimpinan, ganti kebijakan”, bahkan sampai hal-hal teknis seperti ganti tata ruang kantor, ganti kursi, atau ganti warna dinding, bukan sistem yang bekerja.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat ditetapkan perumusan masalah sebagai berikut ini :
1. Bagaimanakah pengambilan keputusan
     dalam kepemimpinan pendidikan
     ditinjau dari perspektif filsafat?
2. Bagaimanakah pengambilan keputusan
     dalam kepemimpinan pendidikan  
     ditinjau dalam perspektif  psikologis?


BAB II
C. Tujuan
Secara umum makalah ini bertujuan untuk
1. Mengetahui pengambilan keputusan
     dalam kepemimpinan pendidikan
     ditinjau dari perspektif filsafat .
2. Mengetahui pengambilan keputusan
     dalam kepemimpinan pendidikan
     ditinjau dalam perspektif  psikologis.

D. Manfaat
Secara teoritis makalah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu manajemen khususnya menyangkut kepemimpinan dan pengambilan keputusan. Selain itu, makalah ini menelaah berbagai macam teori pengambilan keputusan dalam kepemimpinan ditinjau dari perspektif filosofis, psikologis.
Adapun secara praktis, makalah ini bermanfaat bagi pembacanya dalam meningkatkan kualitas kepemimpinan terutama dalam hal pengambilan keputusan sebagai pengelola maupun sebagai penyelenggara organisasi pendidikan.







BAB III
PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN

E. Kepemimpinan Pendidikan
Secara berturut-turut pada bagian ini akan dibahas berbagai macam teori dan pendapat  berkenaan dengan pengertian kepemimpinan, teori kepemimpinan, tipe  kepemimpinan, kepemimpinan partisipatif dari aspek agama, filosofis, psikologis dan sosiologis.

F. Pengertian Kepemimpinan
  Pengertian kepemimpinan sangat beragam. Setiap ahli mengemukakan pengertiannya berdasarkan cara pandangnya masing-masing. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Koontz, O’Donnel & Weihrich (1990:147) yang mendefinisikan kepemimpinan  sebagai pengaruh, seni atau proses mempengaruhi orang-orang sehingga mereka akan berusaha mencapai tujuan kelompok dengan kemauan dan antusias.  James. M Black dalam bukunya Management, A guide to Executive Command menulis  bahwa “Leadership is capatibilty of persuading others to work together undertheir direction as a team to accomplish certain designated objectives” (kepemimpinan adalah kemampuan meyakinkan orang lain supaya bekerja sama di bawah pimpinannya sebagai suatu tim untuk mencapai atau melakukan suatu tujuan tertentu).

Demikian pula, Kartono (2005:187) mendefinisikan kepemimpinan sebagai satu bentuk dominasi yang didasari oleh kapabilitas/kemampuan pribadi, yaitu mampu mendorong dan mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu guna mencapai tujuan bersama. Sedangkan Stoner, Freeman dan Gilbert (1996) sebagaimana dikemukakan oleh Kambey (2003:125) mendefinisikan kepemimpinan manajerial sebagai proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan tugas dari anggota kelompok. Sementara itu, Rost (dalam Safira, 2004:3) mendefinisikan kepemimpinan sebagai sebuah hubungan yang saling mempengaruhi di antara pemimpin dan pengikut atau bawahan yang menginginkan perubahan nyata yang mencerminkan tujuan bersamanya. Sedangkan Robbins (2003: 432) mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kelompok menuju pencapaian sasaran. Selanjutnya Gibson, Ivancevich dan Donnely (1991:334) mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu upaya penggunaan jenis pengaruh bukan paksaan untuk memotivasi orang-orang mencapai tujuan tertentu.

Adapun Tead, Terry, Hoyt (dalam Kartono, 2003) berpendapat bahwa kepemimpinan adalah kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan kelompok. Menurut Young (dalam Kartono, 2003) kepemimpinan adalah bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu yang berdasarkan penerimaan oleh kelompoknya, dan memiliki keahlian khusus yang tepat bagi situasi yang khusus.

Moejiono (2002) memandang bahwa leadership sebenarnya sebagai akibat pengaruh satu arah, karena pemimpin mungkin memiliki kualitas-kualitas tertentu yang membedakan dirinya dengan pengikutnya. Para ahli teori sukarela (compliance induction theorists) cenderung memandang leadership sebagai pemaksaan atau pendesakan pengaruh secara tidak langsung dan sebagai sarana untuk membentuk kelompok sesuai dengan keinginan pemimpin.

Abdulrachman (2004:16) berpendapat bahwa: "tidak semua pemimpin akan dapat mempengaruhi dan menggerakkan orang lain dalam rangka mencapai suatu tujuan secara efektif dan efisien, sebab orang lain baru dapat dipengaruhi/digerakkan jika: (1) Ada kemampuan pada pemimpin untuk menggunakan teknik kepemimpinan; (2) Ada sifat-sifat khusus pada pemimpin yaitu sifat-sifat kepemimpinan yang mempengaruhi jiwa orang-orang sehingga kagum dan tertarik pada pemimpin tersebut".

Dengan demikian, untuk mampu mempengaruhi atau menggerakkan orang lain agar dengan penuh kesadaran dan senang hati bersedia melakukan dan mengikuti kehendak pemimpin, maka pemimpin harus memiliki kemampuan dan memiliki sifat-sifat khusus. Sedangkan sifat-sifat yang harus dimiliki pemimpin menurut Harold Koontz dan Cyrill O’Donnell (1990:21), yaitu:

a. Memiliki kecerdasan melebihi                          orang-orang yang dipimpinnya.
b. Mempunyai perhatian terhadap                       kepentingan yang menyeluruh.
c. Mantap dalam kelancaran
     berbicara.
d. Mantap berpikir dan emosi.
e. Mempunyai dorongan yang kuat
     dari dalam untuk memimpin
f. Memahami kepentingan tentang
    kerjasama.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh seseorang untuk mempengaruhi, menggerakkan dan mengarahkan orang lain agar dengan penuh pengertian, kesadaran dan senang hati bersedia mengikuti kehendaknya tersebut untuk mewujudkan suatu tujuan bersama.

G. Teori-Teori tentang Kepemimpinan
Secara singkat dapat dikemukakan bahwa teori tentang kepemimpinan dapat dikelompokkan dalam tiga pendekatan, yaitu: pendekatan sifat, pendekatan perilaku, dan pendekatan situasional (Lunenburg & Ornstein,1991:129-153, Handoko, 2001:295; Gomes-Mejia & Balkin, 2002: 290-312 2002, Wirjana & Supardo, 2005:13).

H. Pendekatan Sifat.
Teori pendekatan sifat memusatkan perhatian pada diri para pemimpin itu sendiri, oleh karena itu teori ini lebih dikenal sebagai teori pembawaan. Dalam teori ini disebutkan bahwa pemimpin memiliki ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang menyebabkan ia dapat memimpin para pengikutnya. Sifat-sifat tertentu itu menurut Ghiseli (1971) seperti yang dikutip oleh  Handoko (2001:297) antara lain: (1) kemampuan sebagai sebagai pengawas, (2) kebutuhan akan prestasi dalam pekerjaan,  (3) kecerdasan, (4) ketegasan, (5) kepercayaan diri, (6) inisiatif.

Sedangkan Davis menyimpulkan 4 (empat) ciri/sifat utama yang mempunyai pengaruh terhadap kesuksesan kepemimpinan organisasi, yaitu : (1) kecerdasan, (2) kedewasaan dan keluasan hubungan sosial, (3) motivasi diri dan dorongan berprestasi, dan (4) sikap-sikap hubungan manusiawi.

I. Pendekatan Perilaku.
Pendekatan perilaku mencoba mengoreksi pendekatan sifat. Menurut pendekatan perilaku,  pendekatan sifat tidak dapat menjelaskan apa yang menyebabkan kepemimpinan itu efektif. Oleh karenanya, pendekatan perilaku tidak lagi berdasarkan pada sifat seorang pemimpin melainkan mencoba menentukan apa yang dilakukan oleh pemimpin efektif, seperti bagaimana mereka mendelegasikan tugas, bagaimana mereka berkomunikasi dan memotivasi bawahan, bagaimana mereka menjalankan tugas-tugas dan sebagainya.

Aspek perilaku kepemimpinan menekankan fungsi-fungsi yang dilakukan pemimpin dalam kelompoknya. Agar kelompok berjalan efektif, seseorang harus melaksanakan dua fungsi utama, yaitu (1) fungsi-fungsi yang berhubungan dengan tugas (task-related) atau pemecahan masalah, dan (2) fungsi-fungsi pemeliharaan kelompok (Group-maintenance) atau sosial.
Fungsi pertama menyangkut pemberian saran penyelesaian, informasi, dan pendapat. Fungsi kedua mencakup segala sesuatu yang dapat membantu kelompok berjalan lebih lancar, memperoleh persetujuan kelompok lain, penengahan perbedaan pendapat dan sebagainya.

Selain itu, perilaku kepemimpinan juga dapat dilihat dari gaya pemimpin dalam hubungannya dengan bawahan. Ada dua orientasi gaya kepemimpinan yakni:
a. gaya orientasi tugas (task oriented);
b. gaya orientasi karyawan (employe-
     oriented).

J. Gaya Kepemimpinan
Perilaku pemimpin dalam memimpin organisasi disebut juga gaya kepemimpinan (Style of Leadership ). Setiap pemimpin memiliki gayanya sendiri dalam memimpin. Oleh karenanya banyak penelitian tentang gaya kepemimpinan seseorang.
Berbagai gaya kepemimpinan telah diteliti dan ditemukan bahwa setiap pemimpin telah diteliti dan ditemukan bahwa setiap pemimpin bisa mempunyai gaya kepemimpinan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain, dan tidak mesti suatu gaya kepemimpinan yang satu lebih baik atau lebih jelek daripada gaya kepemimpinan yang lainya.

Studi kepemimpinan yang dilakukan oleh Universitas Ohio dan Universitas Michigan maupun yang dilakukan oleh Tannenbaum dan Schmidt seperti dikutip oleh Wahjosumidjo (2001:40) semuanya berusaha mencari gaya kepemimpinan yang efektif. Berkaitan dengan masalah gaya kepemimpinan, Ngalim Purwanto (1992, 48-50) membagi tiga gaya kepemimpinan yang pokok yaitu gaya kepemimpinan Otokratis, Demokratis.

1. Gaya Kepemimpinan Otokratis
Gaya kepemimpinan Otokratis ini meletakkan seorang pemimpin sebagai sumber kebijakan. Pemimpin merupakan segala-galanya. Bawahan dipandang sebagai orang yang melaksanakan perintah. Oleh karena itu bawahan-bawahan hanya menerima instruksi saja dan tidak diperkenankan membantah maupun mengeluarkan ide atau pendapat. Dalam posisi demikian anggota atau bawahan tidak terlibat dalam soal keorganisasian. Pada tipe kepemimpinan ini segala sesuatunya ditentukan oleh pemimpin sehingga keberhasilan organisasi terletak pada pemimpin. Pada gaya kepemimpinan ini terjadi dominasi yang berlebihan mudah menghidupkan oposisi atau menimbulkan sifat apatis, atau sifat-sifat pada anggota-anggota kelompok terhadap pemimpinnya.

2. Gaya Kepemimpinan Demokratis
Gaya kepemimpinan ini memberikan tanggung jawab dan wewenang kepada semua pihak, sehingga mereka ikut terlibat aktif dalam organisasi. Anggota diberi kesempatan untuk memberikan usul serta saran dan kritik demi kemajuan organisasi. Gaya kepemimpinan ini memandang bawahan sebagai bagian dari keseluruhan organisasinya, sehingga bawahan mendapat tempat sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Pemimpin mempunyai tanggung jawab dan tugas untuk mengarahkan, mengontrol dan mengevaluasi serta mengkoordinasi.

Kepemimpinan demokratis senantiasa melibatkan partisipasi bawahan atau pengikutnya untuk mengambil keputusan. Oleh karena itu, gaya kepemimpinan demokratis kerap disebut dengan gaya kepemimpinan partisipatif.  Pemimpin tipe seperti ini kerap menjalankan kepemimpinan dengan konsultasi. Ia tidak mendelegasikan wewenangnya untuk membuat keputusan akhir dan untuk memberikan pengarahan tertentu kepada bawahanya. Tetapi ia mencari berbagai pendapat dan pemikiran dari pada bawahanya mengenai keputusan yang akan diambil. Ia akan secara serius mendengarkan dan menilai pikiran-pikiran para bawahanya dan menerima sumbangan pikiran mereka . Sejauh pemikiran tersebut bisa dipraktekkan .

Pemimpin dengan gaya partisipatif akan mendorong kemampuan mengambil keputusan dari bawahannya sehingga pikiran-pikiran mereka akan selalu meningkat dan makin matang. Para bawahannya juga didorong agar meningkatkan kemampuan mengendalikan diri dan menerima tanggung jawab yang lebih besar. Pemimpin akan lebih “supportive” dalam kontak dengan para bawahan dan bukan menjadi bersikap diktator. Meskipun tentu saja, wewenang terakhir dalam pengambilan keputusan terletak pada pimpinan.
Pemimpin yang demokratis selalu berusaha menstimulasi anggota-angotanya agar bekerja secara produktif untuk mencapai tujuan bersama. Dalam tindakan dan usaha-usahanya, ia selalu berpangkal pada kepentingaan dan kebutuhan kelompoknya, dan memperimbangkan kesanggupan serta kemampuan kelompoknya.

K. Pengambilan Keputusan dalam Prespektif Filsafat Pendidikan
Pengambilan keputusan partisipatif penting dilakukan oleh pemimpin pendidikan, karena secara filosofi tugas seorang pemimpin adalah mengarahkan pengikut untuk mencapai tujuan organisasi secara bersama-sama. Bangunan kerja sama ini akan semakin kokoh apabila pemimpin mamu melibatkan bawahan dalam setiap kegiatan organisasi, termasuk dalam pengambilan keputusan.  Hubungan antara pemimpin dengan bawahan akan semakin baik, sehingga mampu menjaga stabilitas dan kondusifitas organisasi.

Dalam kaitannya dengan pendidikan dewasa ini, pemimpin pendidikan harus mampu mengambil keputusan strategic (mungkin melalui penyusunan kurikulum) agar arah pendidikan dikembalikan pada arah yang sesungguhnya. Dalam kaitan ini, implementasi rekontruksionisme patut untuk dipertimbangkan. Keberanian untuk merestorasi pendidikan ini dipandang akan mampu menyelamatkan generasi muda dari ancaman materialistik.

Filsafat rekontruksionisme memandang bahwa pendidikan perlu mengubah tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang baru untuk mencapai tujuan bersama. Pembinaan daya intelektual dan spiritual  yang sehat akan membina kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar pula, demi generasi sekarang dan generasi yang akan datang sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.

Diterapkannya faham rekontruksionisme dewasa ini seiring sejalan dengan iklim politik pemerintah yang menuju pada demokratisasi. Dalam hubungannya dengan pemerintahan, filsafat rekontruksionisme mempersepsikan bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan dunia yang dikuasi oleh kelompok tertentu. Nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya bukan hanya teori, melainkan mesti menjadi kenyataan sehingga dapat diwujudkan suatu dunia dengan potensi-potensi teknologi, mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran,serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna ras, suku, nasionalisme, agama, dan masyarakat bersangkutan.

Rekontruksionisme sejalan dengan pemikiran Alvin Toffler dengan karyanya Future Shock. Dalam artikelnya Toffler dalam (Gandhi,2011:192) menyatakan bahwa “Apa sebenarnya yang dilakukan pendidikan hari ini, tidak lain adalah anakronisme tanpa harapan” Pendidikan berjalan hanya menjadi serangkaian praktik dan asumsi yang dikembangkan hanya melayani era industry, sedangkan situasi sosial telah memasuki fase super insudtri. Akibatnya dapat ditebak. Sekolah-sekolah kita limbung. Sekolah lebih sibuk mengurusi sistem yang mati daripada menangani masyarakat baru yang sedang tumbuh. Energi besarnya digunakan untuk mencetak manusia industry, yakni manusia yang disiapkan untuk dapat hidup dalam sistem yang akan mati sbelum mereka eksis. Untuk mencegah kegagapan masa depan yang akan datang, harus diwujudkan sistem pendidikan superindustrial. Maka dari itu, kita harus mencari tujuan-tujuan pendidikan dan metode di masa datang, bukan justru masa lalu (Toffler,1970:353).

Walaupun dalam hal optimisme Toffler dan penganut rekontruksionisme agak berbeda, namun intinya roh pendidikan harus dilakukan perubahan yang nyata. Filsafat rekontruksionis berkeyakinan bahwa perubahan dapat dimulai dari pendidikan.



Mengenai kurikulum pendidikan, Rekonstruksionisme menganggapnya sebagai subjek matter yang berisikan masalah-masalah sosial, ekonomi, politik yang beraneka ragam, yang dihadapi umat manusia, termasuk masalah-masalah sosial dan pribadi siswa itu sendiri. Isi kurikulum tersebut berguna dalam penyusunan disiplin “sains sosial” dan proses penemuan ilmiah (inkuiri ilmiah) sebagai metode kerja untuk memecahkan masalah-masalah sosial. Sementara peranan guru, paham rekonstruksionisme sama dengan paham-paham progresivisme. Guru harus menyadarkan siswa terhadap masalah-masalah yang dihadapi manusia, membantu siswa mengidentifikasi masalah-masalah untuk dipecahkannya, sehingga siswa memiliki kemampuan memecahkan masalah tersebut. Guru harus mendorong siswa untuk dapat berpikir alternatif dalam memecahkan masalah tersebut.

Mengenai kurikulum pendidikan, Rekonstruksionisme menganggapnya sebagai subjek matter yang berisikan masalah-masalah sosial, ekonomi, politik yang beraneka ragam, yang dihadapi umat manusia, termasuk masalah-masalah sosial dan pribadi siswa itu sendiri. Isi kurikulum tersebut berguna dalam penyusunan disiplin “sains sosial” dan proses penemuan ilmiah (inkuiri ilmiah) sebagai metode kerja untuk memecahkan masalah-masalah sosial.
Sementara peranan guru, paham rekonstruksionisme sama dengan paham-paham progresivisme. Guru harus menyadarkan siswa terhadap masalah-masalah yang dihadapi manusia, membantu siswa mengidentifikasi masalah-masalah untuk dipecahkannya, sehingga siswa memiliki kemampuan memecahkan masalah tersebut. Guru harus mendorong siswa untuk dapat berpikir alternatif dalam memecahkan masalah tersebut.

Lebih jauh guru harus membantu menciptakan aktivitas belajar yang berbeda secara serempak. Sekolah merupakan agen utama untuk perubahan sosial, politik, dan ekonomi di masyarakat. Tugas sekolah adalah mengembangkan “rekayasa sosial”, dengan tujuan mengubah secara radikal wajah masyarakat dewasa ini dan masyarakat yang akan datang. Sekolah memelopori masyarakat ke arah masyarakat baru yang diinginkan. Apabila tidak demikian, setiap individu dan kelompok nantinya akan memecahkan masalah-masalah kemasyarakatan secaara sendiri-sendiri sebagai pengaruh dan progresivisme.

L. Pengambilan Keputusan dalam Perspektif Psikologi
Sangat sulit untuk menyangkal, bahwa terdapat relevansi antara pengambilan keputusan dengan psikologi. Pengambilan keputusan berhubungan dengan perilaku pemimpin, sedangkan kepatuhan melaksanakan keputusan berhubungan dengan perilaku pengikut. Perilaku pengikut dan perilaku pemimpin merupakan perilaku manusia, yang merupakan kajian dari psikologi.
Perilaku pemimpin tercermin dari gaya kepemimpinan yang dijalankan. Gaya itu dilatarbelakangi oleh sifat atau watak dari pemimpin. Perilaku dan watak sangat berkaitan dengan psikologis pemimpin. Dalam hubungannya dengan pengambilan keputusan, gaya kepemimpinan yang baik adalah gaya yang mampu memecahkan berbagai persoalan dengan tepat. Dalam hal ini gaya kepemimpinan yang otokratis dan demokratis atau partisipatif merupakan gaya kepemimpinan yang saling bertentangan, namun akan cocok bergantung pada siatuasi yang ada.

Dalam situasi normal, pengambilan keputusan sebaiknya dilakukan dengan melibatkan sebanyak mungkin orang lain. Pengikut sebagai unsur yang akan menjalankan keputusan sebaiknya terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Keterlibatan pengikut dalam pengambilan keputusan, secara psikologis akan melahirkan partisifasi pengikut dalam proses pembuatan dan implementasi keputusan. Untuk itu, dari sudut pandang psikologi maka pengambilan keputusan partisipatif dipandang sebagai pengambilan keputusan yang lebih baik dari yang lainnya.  Likert (1976) dalam studi tentang pola dan gaya kepemimpinan dan manajer selama tiga dasawarsa berkesimpulan bahwa kepemimpinan partisipatiflah yang paling efektif dalam organisasi dan manajemen.

Likert memandang manajer yang efektif adalah manajer yang berorientasi pada bawahan yang bergantung pada komunikasi untuk tetap menjaga agar semua orang bekerja sebagai suatu unit. Semua anggota  kelompok, termasuk manajer atau pemimpin, menerapkan hubungan suportif di mana mereka saling berbagi kebutuhan, nilai-nilai aspirasi, tujuan, dan harapan bersama. Pendekatan ini sebagai cara yang paling efektif dalam memimpin kelompok (Kootz,  O ‘Donnell & Weihrich, 1990:152). Gibson, Ivancevioch & Donnely (1990:135) juga mengemukakan bahwa banyak ahli riset dan manajer yang percaya bahwa sebagian besar anggota organisasi ingin memperoleh kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan dan  pengambilan keputusan. Mereka yakin bahwa semakin besarnya partisipsi dalam proses tersebut akan meningkatkan keikatan kepada organisasi, kepuasan kerja, pertumbuhan dan perkembangan pribadi serta sikap menerima perubahan.Perkembangan dewasa ini memandang bahwa pendidikan dan lembaga sekolah sebagai suatu sistem organisasi yang membutuhkan manajemen yang andal.

Aspek penting dalam organisasi dan manajemen pendidikan adalah soal kepemimpinan pendidikan. Dari aspek perilaku organisasi pendidikan, pengambilan keputusan partisipatif menjadi suatu model yang dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan proses pendidikan di sekolah. Keterlibatan dan partisipasi segenap komponen sekolah menjadi unsur yang menentukan kinerja dan keberhasilan penyelenggaraan sekolah sebagai lembaga pendidikan.

BAB IV
PENUTUP
M. Simpulan

1. Pengambilan keputusan merupakan aktivitas yang sangat menentukan dalam suatu
organisasi. Pengambilan keputusan merupakan esensi/inti dari kepemimpinan. Seorang
pemimpin disebut pemimpin apabila dapat dan mampu mengambil keputusan. Dalam
kepemimpinan dikenal gaya-gaya kepemimpinan. Salah satu di antaranya adalah
kepemimpinan partisipatif. Kepemimpinan partisipatif mengandaikan adanya kondisi
pemimpin memberikan ruang yang luas pada  keterlibatan yang utuh dan mendalam
dari seluruh pimpinan dan anggota organisasi untuk ikut serta dalam pengambilan
keputusan.

2. Pengambilan keputusan dapat dipandang dan dilandasi oleh agama, filsafat, psikologi
dan sosiologi. Berbasarkan landasan agama, dianjurkan akan dalam pengambilan
keputusan, seorang pemimpin menempuh jalan musyawarah. Dalam kepemimpinan
pendidikan tentu saja musyawarah melibatkan berbagai stakeholder, terutama guru.
Secara psikologis, pelibatan stakeholder dalam musyawarah akan meningkatkan
motivasi, gairah, dan tanggung jawab untuk turut serta melaksanakan keputusan secara bersama-sama.

N. Saran
1. Pengambilan keputusan merupakan inti dari kepemimpinan pendidikan. Oleh karena
itu, pemimpin pendidikan dalam pengambilan keputusan disarankan dilakukan secara
musyawarah dengan melibatkan bawahan atau para stakeholder yang berkepentingan.

2. Kepemimpinan pendidikan sangat ideal apabila menjalankan gaya
kepemimpinan partisipatif agar seiring sejalan dengan hakikat musyawarah
dalam pengambilan keputusan.







DAFTAR PUSTAKA

Bolman, Lee G dan Terence E, Deal, 1997, Reframing Organization: Artistry, Choice and Leadership, San Fransisco: Jossey-Bass.

Gandhi,2011.Filsafat Pendidikan.Mazhab-Mazhab filsafat pendidikan.Jogjakarta:Ar-Ruz Media.

Gibson, Ivancevich, Donnelly, 1990, Organisasi, Perilaku, Struktur dan Proses, Jilid, 1, University of Kentucky dan University of Houston (Editor: Djarkasih) Jakarta: Erlangga.

Rohmat.2010. Kepemimpinan Pendidikan.Konsep dan Aplikasi.Jogjakarta:STAIN PRESS
Safaruddin, Anzizhan.2004. Sistem Pengambilan Keputusan Pendidikan. Jakarta:Grasindo
Safaria, T., 2004, Kepemimpinan, Yogyakarta: Graha Ilmu.

Salusu, J., 1996, Pengambilan Keputusan Stratejik, Untuk Organisasi Publik dan
Organisasi Nonprofit,Jakarta:PT.GramediaWidiasarana Indonesia
Siagian, S.P., 1993, Teori dan Praktek Pengambilan Keputusan, Jakarta: CV Haji
Masagung.

Veithzal, R., 2004,  Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi, Jakarta: PT RajaGrafindo
Wexley, K.N., Yukl Garry A., 2003, Perilaku Organisasi dan Psikologi Personalia, (alih bahasa:  Shobaruddin M), Jakarta: Rineka Cipta.

Yukl, G., 1998, Kepemimpinan dalam Organisasi, judul asli: Leadership in Organizations 3e & 5e, State University of New York at Albany, (alih bahasa oleh Jusuf Udaya) Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta: Prehallindo